Rit-Narit di Jembatan Kaca

"Ya, aku positif thingking aja, karena su'uzon itu gak boleh.  Biarlah orang niatnya bagaimana,  nanti Allah yang mengadilinya."



Rit-Narit 
Jembatan Kaca (Kampoeng Tridi-Kampoeng Warna Warni).

"Rit-Narit? Haha!"
Kalau kalian orang Madura, atau paham Bahasa Madura pasti ngerti, apa maksud dari kata 'Rit-Narit' itu.

Oke. Bagi kalian yang bukan orang Madura,  atau yang belum paham dengan kata 'Rit-Narit' diatas aku jelasin aja.  Moga bisa dipahami,  ya...  Hehe...

Rit-Narit adalah Bahasa Madura yang diindonesiakan, atau diplesetkan (biasanya ini, kerjaan anak muda,  saat berguyon).  Kata sebenarnya adalah Re'-Nare' (Bahasa Madura) biasa diartikan sela-sela diatara pagi dan siang.  Yang aku pahami, kata itu biasa dilontarkan oleh orang Madura ketika memasuki (sekitar) jam 8 sampek menjelang masuknya siang atau adzan dhuhur,  atau simpelnya jam 12 siang.  Sejauh ini sudah paham yak? Kalau udah paham kita lanjut ke next my story... Hehe..
***
"Alhamdulillah, tak kebayang, aku akan kedua kalinya sampek ke Kampoeng Warna-Warni (Jodipan)," gumamku sewaktu masih di dalam Bus Mini yang kami tumpangi.

Bus Mini itu memang sudah berhenti di depan pintu gerbang yang ada bacaannya: Kampoeng Warna-Warni.  Ya, masih seperti dua tahun yang lalu, tulisan itu bertaburan bunga. Waktu itu aku memang berdua, bersama Ghafur (FKMSB Malang), pakek sepeda motor maticnya. Parkir dekat pintu gerbang boleh, cuma bayar karcis 3 ribu untuk sepeda dan masuknya perorangan juga tiga ribu rupiah.  Sehubung dulu dengan sekarang berbeda deri segi kendaraan, al-akhir kami meski banyak yang sudah ada kedua kalinya, ketiga kalinya,  apalagi yang baru kali pertama.  Nasibnya pun juga sama denganku, pakek sepeda motor saat berkunjung.

Sopir kami turun, nanyak ke orang-orang sekitar mengenai parkir khusus mobil.  Ternyata disuruh puter balik atau lanjut dan pada akhirnya juga mengalami nasib puter balik juga.  Rasa sabar kami, lanjut sesuai petunjuk dari orang tadi.  Akhirnya kami berhenti di deket jembatan simpang empat di pinggir jembatan itu terlihat Wisata Kampoeng Warna-Warni,  dan Kampoeng Biru Arema.  Bus kami parkir disana.  Kami turun.  Masuk ke wisata yang kami anggap itu Jodipan.

Setelah kami melewati pintu gerbang itu, ternyata banyak ukiran keren dengan bertuliskan; Kampoeng Tridi.  Ya.. Target ke Warna-Wani, masuknya ke Tridi.

Aku lumayan mengungkapkan kata bersyukur berulang kali, terlihat tak ada penjaga yang minta karcis,  aku anggap gratis. "Tidak sia-sia ternyata masuk ke Tridi, ternyata gratis," aku berbisik ke salah satu temanku.  Tak lama dari aku berbisik. Ada seorang lelaki pakek anting di hidung bukan di telinga,  orangnya agak bencong dikit menghampiri.

"Sudah bayar, Mas? " tanyanya pada kami.
"Belum," jawab kami.
"Perorangan tiga ribuan ya, Mas,"
"Iya, Pak,"

Kami sibuk ngumpulin uang tiga ribuan perorangan,  sedangkan si Pak-Bapak itu pergi lagi. Tak lama kemudian, kembali lagi dengan membawa wadah yang berisi gantung kunci yang terbuat dari karpet (menurutku) hanya saja divareasi seperti muka kucing,  spongebob,  dll.

Setelah semua uang kami terkumpul,  Ary (temanku)  yang ngasih ke Bapak tersebut.  "Sebelah orang ya,  Pak," kata Ary.
"Oh iya," ucapnya setelah nerima uang dari Ary.  "Silakan temanmu suruh ambil satu-satu, suruh milih gantungan kunci mana yang mereka sukai," lanjutnya kemudian.
"Yak-yak, soro ngalak tung-situng reh (Sini, nih suruh ngambil satu-satu)," panggil Ary.

Aku yang berada di dekat Ary dari tadi, jadilah aku orang pertama setelahnya yang ngambil gantungan itu.

Setelah aku ngambil, aku merasa ada yang aneh, yak.  Aku lihat gantungan itu yang ada di tanganku, dan lihat tuh bapak-bapak.  "Uang tiga ribu itu uang karcis,  apa uang untuk beli jualannya itu yak?" pikirku. "Barangkali itu hanya bonusnya aja, biar ada semacam kenangan, mungkin," jawabku sendiri.

Ya,  aku positif thingking aja, karena su'uzon itu gak boleh.  Biarlah orang niatnya bagaimana,  nanti Allah yang mengadilinya.  Berprasangka baik pada orang lain itu yang lebih penting.

"Lagian itu hal sepele, dan tak seberapa uang yang kami keluarin," lanjutku seperti ada diskusi di benakku.

Aku pun kembali gabung foto-foto,  dan mengitari pemandangan indah, hiasan, kekreatifannya, kata-kata disetiap plang dan gedungnya yang bertuliskan kata mesra hingga motivasi yang ada di Kampoeng Tridi ini. Keren!

Tepat di jembatan kaca (Lintasan Kampoeng Tridi dan Kampoeng Warna-Warni). Kami berfoto-foto gaya kami ala anak milenial. Bergantian.

Ada kegembiraan pasti ada rasa keselnya juga.  Ini nih, aku kesel karena teman-temanku gak kompak ke Kampoeng Warna-Warni. Ya sudah, akhirnya aku aja yang ngikut mereka karena lebih banyak,  dan aku maklumni, aku pernah nyampek sana,  hal yang sama mungkin mereka pernah alami.  Jadi tidak mau yang kedua kali.

Sepanjang perjalanan menuju pintu keluar Kampoeng Tridi, aku melihat banyak orang yang seharusnya aku patut bersyukur dengan keadaanku seperti sekarang ini; diberi kesehatan, dan lainnya.  Aku melihat ada seorang nenek-nenek yang pada waktu itu berada diatas kursi roda. Aku rasa dia kenak strock. Dan juga, aku membayangkan sulitnya di Indonesia mengais rezeki.  Seperti apa yang aku temui; seorang perempuan tengah baya amat gembira dengan uang (entah) 20 ribu (atau) 50 ribu.  Aku rasa, destinasi wisata yang ada di Malang dan bahkan seluruh Indonesia memang dijadikan kesempatan untuk mencari rezeki.  Meski saat kampaye tahun lalu, Pak Jokowi mau mengeluarkan kartu Pra-Kerja itu sudah menjadi hal mustahil. Tak pernah ada.

Aku jadi membayangkan bagaimana dengan nasibku nanti? Apakah mengalami hal yang sama?  Melebihi atau bahkan lebih sengsara dari mereka? Ya,  Allah... Hanyalah Dia-lah yang mengetahui semua itu dan Dia-lah sebaik-baik penentu (Takdir).

_______________
Januari 2020

1 Response to "Rit-Narit di Jembatan Kaca"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel